1. Bumi Berguncang



Hingga duduk di awal kelas lima SD, sahabat terdekatku adalah Maman dan Gepeng. Kami duduk sekelas dan rumah kami pun meski tidak dekat benar, tidaklah berjauhan. Saban pagi kami bertiga berangkat sekolah sama-sama, pulang berbarengan, main selepas sekolah pun demikian. Gepeng yang terampil dalam membuat aneka perlengkapan mainan anak-anak duduk sebangku denganku. Nama sebenarnya Solihin. Olih Solihin lengkapnya. Seperti mungkin juga terjadi padamu, sebuah hal remeh di masa kecil membuatmu mendapat julukan yang berbeda dengan yang tersurat di akta kelahiran kemudian tersemat hingga beberapa periode hidupmu berikutnya. Akan halnya Gepeng, musabab mengapa dikenal dengan nama itu adalah karena semua orang bernama Solihin di kampungku—seingatku ada empat—dipanggil demikian.
Alkisah dahulu tersebutlah seorang masyhur bernama Solihin GP. Sedemikian terkenalnya sampai para Solihin di kampungku pun diberi nama tambahan GP. Yang pertama mendapatkan kehormaan itu adalah Solihin Patri, yang semula dinamai demikian karena ia seorang tukang patri. Boleh jadi penduduk kampung merasa kurang afdol saat melafalkan “GP” sehingga mereka memoles nama itu menjadi Gepeng. Seiring waktu berputar, nama Solihin sendiri sedikit demi sedikit terlupakan dan orang-orang lebih mengenal Solihin Patri dengan Gepeng. Tidak ada yang merasa berkewajiban bertanya apakah yang bersangkutan suka dengan nama itu. Lagipun, kalau dia keberatan, bisa jadi orang-orang justru akan lebih suka menggunakannya. Kebiasaan merambat seperti rumput jalar, nama Gepeng juga dipakai untuk memanggil Solihin Boled. Itu belum cukup, Solihin Penggilingan pun kena lilit serupa. Akhirul kisah, Olih Solihin temanku yang tidak tahu-menahu siapa Solihin GP, digelari Gepeng juga.
Adapun Maman, punya nama lengkap Maman Sukarman. Sepanjang aku ingat, nama-nama serupa inilah yang membuat aku minder dengan nama sendiri. Perkara ini terutama kurasakan ketika di hari pertama kelas satu kami harus menyebutkan nama masing-masing. Bagaimana tidak, nama teman-temanku rata-rata bersanjak. Selain dua teman dekatku tadi, ada: Nana Laksana, Lina Marlina, Gugun Gunawan, Aji Sudarmaji, Edi Riadi, Yati Nurhayati, Ajat Sudrajat, Nia Kusniawati. Cobalah engkau lafalkan nama-nama itu dengan sedikit saja penghayatan. Bukankah terasa keindahan irama di sana? Di alam pikirku waktu itu, demikianlah lazimnya merangkai nama. Nama-nama yang tidak memiliki rima tidak memenuhi rukun dan karenanya tak layak dibanggakan. Jadi ketika tiba giliranku harus menyebut nama disaksikan muka-muka penasaran seisi kelas, aku menatap lantai mencari topeng penghalau malu. Suaraku pelan sekali ketika berkata, “Ahmad Rizki.” Begitu mengucapkannya, dalam hati aku menyesalkan ketidaktaatan ayah-ibuku dalam mematuhi aturan baku itu taktala menamaiku. Dari jutaan kemungkinan, tidakkah mereka menemukan satu saja nama berirama untukku? Tidakkah mereka meminta nasihat kepada kakek-nenek, atau sesepuh kampung? Atau kepada ajengan[1]?
∞∞
Sore itu langit cerah, sinar matahari yang sudah bergeser sedikit ke barat masih menyisakan garang panasnya. Saat para lelaki pulang dari sawah dan kebun sambil memanggul keranjang berisi sayuran dan para wanita mengumpulkan padi yang dijemur di halaman sampai ruah ke jalan, Gepeng datang ke rumahku. Di tangannya terggenggam dua buah botol plastik bekas yang sisinya sudah dilubangi kecil-kecil dengan paku panas. Sebuah dia serahkan padaku. Sebenarnya sangat mudah bagiku untuk menyiapkan botol sendiri, tapi Gepeng selalu menyediakan perlengkapan apa pun yang bisa dibikinnya untukku tanpa diminta. Membuat, baginya, lebih mengasyikkan ketimbang bermain dengan apa yang dibuatnya. Dari rumahku kami pergi menuju rumah Maman. Anggota ketiga dari “Trio Pemburu dari Gegerbitung” itu sudah menunggu di tangga batu rumahnya. Perlengkapan botol plastik berlubang-lubang sudah siap di tangannya.
Sebagaimana kebiasaan kami, sore hari adalah waktu berburu. Ladang perburuan kami adalah pinggiran hutan tak jauh dari kampung. Persenjataan utama kami adalah ketapel. Sesekali kami juga membawa porog, perangkap kecil terbuat dari serat batang pisang. Biasanya kami mencari sarang burung di atas pohon-pohon yang tak terlalu tinggi, menaikinya dan menempatkan porog di sarang pipit yang ditinggalkan pemilik. Serat batang pisang yang halus dan sewarna dengan rerumputan kering menjadi samar di atas sarang. Ujung tali lehernya kami simpulkan pada dahan tempat bertenggernya sarang. Setelah menunggu beberapa jam, jika beruntung, kami bisa menggondol induk burung pipit yang terperangkap di sana. Dalam perjalanan pulang kami memetik setangkai buah padi yang belum matang—entah dari sawah milik siapa—untuk dijadikan makanan si Pipit.
Ada kalanya juga kami membawa jaring dengan tangkai panjang jika hendak berburu tonggeret. Serangga berbunyi melengking ini berwarna hijau cerah dan sangat indah. Sayangnya ia sangat sulit ditangkap sehingga acapkali kami pulang dengan tangan hampa. Si hijau indah inilah yang acap disebut-sebut pada musim layang-layang. Jika anak-anak sudah berdatangan ke lapang atau tegalan sambil menenteng layang-layang dan mendapati kincir bambu yang dipasang pada tiang tinggi tidak mau berputar karena angin enggan berhembus, mereka ramai-ramai menyanyikan bait permintaan kepada tonggeret. Begini bunyinya, “Tonggeret tonggeret, pang mukakeun lawang angin…”[2] Entah orang bodoh mana yang menciptakan lagu itu karena menurutku sulit dipercaya kalau tonggeret bisa mengendalikan angin.
Namun sore itu sasaran buruan kami adalah jangkrik. Beberapa pekan belakangan teman-temanku di sekolah dilanda demam. Kalau ada demam yang membuat kami bergairah, tak lain adalah demam jangkrik. Mahluk kecil berderik ini menjadi pusat perhatian di saat istirahat. Beberapa anak bahkan membawanya ke dalam kelas. Keruan saja kegiatan belajar terusik karena sebentar-sebentar diselingi bunyi derik. Yang membuat mata kami berbinar-binar seperti kucing di pinggir kolam ikan adalah ketika salah seorang anak memperlihatkan seekor jangkrik kalung yang sayap dan tubuhnya berwarna coklat kehitaman. Seakan memang dilahirkan untuk jadi jagoan, jangkrik jenis ini tiap kali diadu selalu menang. Siapa tak ingin punya peliharaan seperti itu? Sebab itulah kali ini kami membulatkan tekad untuk pantang pulang sebelum mendapatkan jangkrik kalung setidaknya seorang satu.
Medan perburuan kami kali ini adalah sawah tegalan bekas panen yang dibiarkan kering menunggu musim tanam berikut. Di lahan demikian biasanya beraneka macam gulma tumbuh subur, menjadi surga bagi bangsa serangga untuk beranak-pinak. Di sini pula para jangkrik membangun rumah dalam tanah. Lubang-lubang itulah yang kami amati satu per satu. Gepeng, Maman dan aku menyebar di sudut yang berbeda. Kantung plastik berisi air sudah pula kami siapkan. Jika menemukan lubang yang kami curigai sebagai tempat bersemayam jangkrik, air kami guyurkan ke dalamnya. Si penguasa lubang tidak serta-merta merayap keluar dan menyerahkan diri seperti harapan kami. Lebih sering yang keluar adalah serangga lain yang tidak dikehendaki. Demikianlah rupanya aturan alam seringkali berjalan: apa yang engkau inginkan tak kunjung ketemu, apa yang engkau temui tidak kauinginkan. Atau sekalinya si jangkrik keluar ia melakukannya dengan loncatan tinggi dan secepat kilat menghilang di antara rimbunnya gulma.
Kalau air tak sanggup memaksa mereka keluar dari istana bawah tanah, kami melancarkan jurus serangan lanjutan: menginjak-injak tanah di sekitar lubang dengan keras. Mungkin dalam pandangan masyarakat jangkrik di tegalan itu, kami adalah buta[3] yang menggedor rumah penduduk agar mereka berhamburan keluar untuk dimangsa. Dalam urusan dengan kaum jangkrik, kami memang tak kenal belas. Engkau bisa menyebut kami dirasuki hasrat menaklukkan makhluk yang lebih lemah, kami menyebutnya upaya untuk mengajak mereka bersenang-senang. Boleh jadi ketika berburu jangkrik seperti inilah seseorang di suatu tempat di suatu waktu menciptakan lagu ini, “Kalau kau senang hati injak bumi… Bleg! Bleg![4]
Sebentar-sebentar suara hentakan kaki terdengar dan kami biasanya menoleh ke arah sumber suara sambil bertanya, “Dapat?” yang lebih sering dijawab dengan gelengan kepala disertai raut penasaran.
Rupanya sore itu akulah yang pertama beruntung. Beberapa detik setelah aku memenuhi lubang kelima dengan air hingga meluap, seekor jangkrik merayap ke permukaan. Daya tahan makhluk mungil ini takluk pada guyuran air setengah kantung plastik. Ia menekuk sepasang kaki belakangnya mengambil ancang-ancang—gerakan klasik yang mudah dibaca lawan. Sebelum ia sempat meloncat tangan raksasaku dengan sigap menangkapnya. Aku berteriak kegirangan, kemudian memasukkan jangkrik malang itu ke dalam botol plastik berlubang-lubang. Kumasukkan pula beberapa helai rumput untuk membuatnya nyaman.
Mendengar teriakanku, Gepeng dan Maman menghampiri. Mereka mengamati isi botolku, tapi demi melihat mahluk tangkapanku bersayap warna pucat, Gepeng mencibir.
“Ah, bukan kalung,” ujarnya.
Kemudian mereka kembali ke wilayah buru masing-masing. Jangkrik gopur memang lebih mudah didapat dan bukan merupakan bintang seperti halnya si coklat tua yang jarang dan sulit ditangkap.
Sekonyong-konyong inderaku menangkap sesuatu yang tidak biasa. Sangat tidak biasa. Bumi yang kupijak bergetar membuatku oleng. Getaran yang merambat dari permukaan tanah terlalu nyata untuk sebuah lompatan kaki. Aku merasa seperti berdiri di atas gong raksasa dan seseorang memukul gong itu dengan palu karet. Kerasnya getaran di permukaan seakan hendak memantul-mantulkan tubuhku. Mustahil kedua temanku itu bisa menghentak bumi sedemikian keras. Seketika aku menoleh kepada Gepeng. Pada saat yang sama ia pun memandangku dengan mulut terbuka dan mata membulat. Kami menoleh pada Maman. Teman kami yang masih dalam keadaan jongkok ini pun memandang kami bergantian dengan muka pucat. Paras ketakutan terpancar jelas dari wajahnya. Dengan tatapan tak percaya ia seakan bertanya, “Kamu rasakan jugakah getaran itu?”
Getaran di tanah semakin menjadi; kami berlari saling mendekat dalam kebingungan. Masing-masing berharap yang lain bisa menjelaskan apa yang menyebabkan guncangan itu. Namun setiap kata yang terucap hanya menambah kepanikan. Ketika berhasil mengumpulkan kesadaran dan memahami apa yang tengah terjadi, serentak kami berlari sambil berteriak:
Liniiii[5]…!”
 Detik-detik berikutnya adalah momen yang tersimpan di ingatanku dalam gerak lambat. Seraya masih menggenggam botol plastik kami berlari lintang pukang melewati pematang. Tidak peduli kaki kami merusak semaian padi yang baru tumbuh, juga sayuran dan bunga-bunga di kebun. Yang ada di pikiran kami hanyalah berlari. Secepat mungkin! Aku sempat menyaksikan permukaan air sawah beriak-riak cepat, di kejauhan pohon-pohon kelapa berayun rendah, dan rumpun-rumpun bambu mengeluarkan bunyi berisik. Kurasakan debaran di dada bertambah kencang ketika kudengar debum rendah diikuti bunyi-bunyi tak menentu.
Tanpa menghiraukan rumput kasar dan duri yang menggores kaki dan tangan, kami berlari sekuat tenaga. Begitu sampai di jalan batu kami berpisah menuju rumah masing-masing tanpa sempat mengucapkan apa pun. Aku berbelok menuju jalan setapak yang dipagari beluntas di sisi kiri dan rumpun bambu di kanan. Di ujung pagar beluntas itu ada cukang, jembatan kecil dari bambu. Di seberang cukang itulah terletak rumahku, tidak jauh dari tebing yang di atasnya tumbuh dua pohon duren besar. Yang kucemaskan adalah Umi dan Fitri. Adikku yang berusia 5 tahun itu pasti panik, karena pada jam-jam seperti itu biasanya Abah tidak berada di rumah.
Begitu melewati pagar beluntas dan rumpun bambu, kakiku terhenti mendadak. Pandanganku nanar menyaksikan pemandangan yang terhampar di depanku. Sungai kecil yang tiap hari kulintasi itu sudah tak ada. Kedua dindingnya telah roboh memenuhi dasar mirip lubang besar dan panjang yang baru saja digali. Aku berdiri tepat di bibirnya. Warna dinding yang biasanya hijau dipenuhi rumput, lumut dan suplir liar telah berganti menjadi merah tanah dengan satu dua batu bersembulan di sana sini. Cukang bambu itu tak lagi berada di tempatnya. Kulihat ke bawah. Hanya salah satu ujungnya yang tampak, selebihnya telah terkubur.
Aku mengangkat muka untuk melihat rumahku. Rumah panggung berpenopang enam buah balok batu dengan dinding seluruhnya terbuat dari anyaman bambu yang dilabur kapur putih dan hanya menyisakan bagian jendela. Atapnya genting tipis yang banyak ditumbuhi lumut. Dilihat dari kejauhan, warna putih kapur itu sangat menonjol karena lingkungan sekitarnya hanyalah warna hijau. Di kiri kanan rumah terdapat dua bidang kecil kebun yang ditanami Umi dan Abah dengan singkong dan berbagai jenis sayuran keperluan sehari-hari. Bagian belakang dibatasi oleh tebing yang juga dipenuhi warna hijau rerumputan. Rumah terdekat dari sana adalah milik tetangga kami Pak Dadun. Letaknya hanya dipisahkan oleh sebuah petak kebun dan sebuah kolam ikan.
Tapi ketika aku melihat ke sana, pemandangan yang sudah begitu akrab tertanam di benakku itu tidak kutemukan. Yang kulihat adalah gundukan tanah merah semacam bukit kecil. Dua pohon duren besar telah melintang di atas gundukan itu. Bekas atap rumah hanya tampak sedikit, itupun bentuknya sudah tak  beraturan. Untuk beberapa saat aku berdiri mematung. Degup di dada yang belum mereda lantaran berlari dengan kecepatan tinggi, kini terasa lebih kencang lagi. Darahku seakan tersedot habis, otot dan persendian tubuhku mendadak lemas. Tak terasa genggamanku melemah dan botol plastik di tanganku terlepas, berguling di tanah merah.
Dengan tenaga yang tersisa aku menuruni sungai yang kini sudah lebih landai dan tak tampak berair. Kakiku terasa amat berat karena setiap kali melangkah tenggelam ke dalam tanah setinggi lutut, meninggalkan lubang dalam. Sandal jepitku tertinggal entah di sebelah mana. Susah payah aku mencapai tempat berdirinya rumahku.
Aku memanggil-manggil Umi dan Fitri sekeras mungkin. Di mana ibu dan adikku; apa yang terjadi dengan mereka? Aku melempar pandangan ke arah rumah Pak Dadun, berharap mereka berada di sana. Tapi tak tampak sesiapa pun di sana. Galau pikiranku. Aku yakin mereka berhasil menyelamatkan diri. Abah tadi pulang lebih awal dan membawa mereka ke tempat aman. Tidak mungkin Abah membiarkan mereka berdua tak berdaya.
Tapi di mana mereka sekarang?
Kutatap gundukan tanah di tempat yang semula adalah rumah kami itu. Tidak mungkin Umi dan Fitri berada di bawah sana. Waktu aku meninggalkan rumah tadi Umi sedang membersihkan ikan mujair di pancuran bambu yang menyatu dengan dapur, Fitri menemaninya sambil mempermainkan buah harendong.
Kembali aku memanggil-manggil mereka.
Bagaimana kalau mereka berdua memang masih berada di dalam rumah? Pikiran itu membuat aku limbung. Aku mendekati gundukan tanah dan berharap mendengar suara. Tidak tahu apa yang harus dilakukan, tanganku mulai mengais tanah sambil tak henti memanggil Umi dan Fitri. Semakin mengais, semakin aku mendapatkan kembali kekuatanku. Gerakan tanganku semakin cepat, suaraku semakin keras. Aku mendapat keyakinan bahwa tidak berapa lama lagi akan menemukan Fitri dengan pakaian warna kuning kesayangannya. Rambut tebalnya yang lurus dan hitam agak kotor terkena tanah, tapi wajahnya yang lonjong tetap tersenyum lucu memperlihatkan gigi depannya yang ompong satu. Ketika ia menangis karena matanya terkena butiran tanah, kutiup kedua matanya dengan lembut. Kubersihkan kotoran di wajah dan rambutnya, dan kuhibur ia dengan permainan yang menjadi kesukaannya: duduk di kedua kakiku, kemudian kuangkat naik-turun sambil bernyanyi.
Ucang-ucang anggé
Mulung muncang saparanggé
Digogog ku anjing gedé
Anjing gedé nu mang lebé
Ari gog…gog cungungung[6]
Ketika aku sampai pada kata “cungungung” kuangkat kakiku setinggi-tingginya sampai Fitri tergelak kegirangan, suara tawanya panjang menggemaskan. Kedua matanya tinggal segaris. Tanpa bosan ia meminta permainan itu diulang. Aku pun tak kenal lelah. Merasa mendengar suara Fitri yang berteriak gembira di ujung kakiku, aku tak bisa mengendalikan tanganku dan terus menggali.
 ∞∞



[1] Sebutan untuk ustadz
[2] Tonggeret tonggeret tolong bukakan gerbang angin. Nyanyian anak-anak untuk “memanggil angin”
[3] Raksasa
[4] Adaptasi dari lagu anak-anak asing, “If you’re happy and you know it stomp your feet!”
[5] Gempa
[6] Lagu ini biasa dinyanyikan untuk mengiringi anak kecil yang duduk di atas punggung kaki dan dinaik-turunkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Protected by Copyscape DMCA Takedown Notice Infringement Search Tool