Hingga duduk di awal
kelas lima SD, sahabat terdekatku adalah Maman dan Gepeng. Kami duduk sekelas
dan rumah kami pun meski tidak dekat benar, tidaklah berjauhan. Saban pagi kami
bertiga berangkat sekolah sama-sama, pulang berbarengan, main selepas sekolah
pun demikian. Gepeng yang terampil dalam membuat aneka
perlengkapan mainan anak-anak duduk sebangku denganku. Nama sebenarnya Solihin.
Olih Solihin lengkapnya. Seperti mungkin juga terjadi padamu,
sebuah hal remeh di masa kecil membuatmu mendapat julukan yang berbeda dengan
yang tersurat di akta kelahiran kemudian tersemat
hingga beberapa periode hidupmu berikutnya. Akan halnya Gepeng, musabab
mengapa dikenal dengan nama itu adalah karena semua orang
bernama Solihin di kampungku—seingatku ada empat—dipanggil demikian.
Alkisah dahulu
tersebutlah seorang masyhur bernama Solihin GP. Sedemikian terkenalnya sampai
para Solihin di kampungku pun diberi nama tambahan GP. Yang
pertama mendapatkan kehormaan itu adalah Solihin Patri, yang semula dinamai
demikian karena ia seorang tukang patri. Boleh jadi penduduk kampung merasa
kurang afdol saat melafalkan “GP” sehingga mereka
memoles nama itu menjadi Gepeng. Seiring waktu berputar, nama Solihin sendiri
sedikit demi sedikit terlupakan dan orang-orang lebih mengenal Solihin Patri
dengan Gepeng. Tidak ada yang merasa berkewajiban bertanya apakah yang
bersangkutan suka dengan nama itu. Lagipun, kalau dia keberatan, bisa jadi orang-orang
justru akan lebih suka menggunakannya. Kebiasaan merambat seperti rumput jalar,
nama Gepeng juga dipakai untuk memanggil Solihin Boled. Itu belum
cukup, Solihin Penggilingan pun kena lilit serupa.
Akhirul kisah, Olih Solihin temanku yang tidak tahu-menahu siapa Solihin GP,
digelari Gepeng juga.
Adapun Maman, punya
nama lengkap Maman Sukarman. Sepanjang aku ingat,
nama-nama serupa inilah yang membuat aku minder dengan nama sendiri. Perkara ini terutama kurasakan ketika di hari pertama kelas satu kami
harus menyebutkan nama masing-masing. Bagaimana tidak, nama
teman-temanku rata-rata bersanjak. Selain dua teman dekatku tadi, ada: Nana
Laksana, Lina Marlina, Gugun Gunawan, Aji Sudarmaji, Edi Riadi, Yati Nurhayati,
Ajat Sudrajat, Nia Kusniawati. Cobalah engkau lafalkan
nama-nama itu dengan sedikit saja penghayatan. Bukankah terasa keindahan irama di sana? Di alam pikirku waktu itu,
demikianlah lazimnya merangkai nama. Nama-nama yang tidak memiliki rima tidak
memenuhi rukun dan karenanya tak layak
dibanggakan. Jadi ketika tiba giliranku harus menyebut nama disaksikan
muka-muka penasaran seisi kelas, aku menatap lantai mencari topeng
penghalau malu. Suaraku pelan sekali ketika berkata, “Ahmad Rizki.”
Begitu mengucapkannya, dalam hati aku menyesalkan ketidaktaatan ayah-ibuku
dalam mematuhi aturan baku itu taktala menamaiku. Dari jutaan
kemungkinan, tidakkah mereka menemukan satu saja nama berirama untukku?
Tidakkah mereka meminta nasihat kepada kakek-nenek, atau sesepuh kampung? Atau
kepada ajengan[1]?
Sore itu langit
cerah, sinar matahari yang sudah bergeser sedikit ke barat masih menyisakan
garang panasnya. Saat para lelaki pulang dari sawah dan kebun sambil memanggul
keranjang berisi sayuran dan para wanita mengumpulkan padi yang dijemur di
halaman sampai ruah ke jalan, Gepeng datang ke rumahku. Di tangannya
terggenggam dua buah botol plastik bekas yang sisinya sudah dilubangi
kecil-kecil dengan paku panas. Sebuah dia serahkan padaku. Sebenarnya sangat
mudah bagiku untuk menyiapkan botol sendiri, tapi Gepeng selalu menyediakan
perlengkapan apa pun yang bisa dibikinnya untukku tanpa diminta. Membuat,
baginya, lebih mengasyikkan ketimbang bermain dengan apa yang dibuatnya. Dari
rumahku kami pergi menuju rumah Maman. Anggota ketiga dari “Trio Pemburu dari
Gegerbitung” itu sudah menunggu di tangga batu rumahnya. Perlengkapan botol plastik berlubang-lubang sudah siap di tangannya.
Sebagaimana kebiasaan
kami, sore hari adalah waktu berburu. Ladang perburuan kami adalah pinggiran
hutan tak jauh dari kampung. Persenjataan utama kami adalah ketapel. Sesekali
kami juga membawa porog, perangkap kecil terbuat dari serat batang pisang. Biasanya kami
mencari sarang burung di atas pohon-pohon yang tak terlalu tinggi, menaikinya
dan menempatkan porog di sarang pipit
yang ditinggalkan pemilik. Serat batang pisang yang halus dan sewarna dengan
rerumputan kering menjadi samar di atas sarang. Ujung tali lehernya
kami simpulkan pada dahan tempat bertenggernya sarang. Setelah
menunggu beberapa jam, jika beruntung, kami bisa menggondol induk burung pipit
yang terperangkap di sana. Dalam perjalanan pulang kami memetik setangkai buah
padi yang belum matang—entah dari sawah milik siapa—untuk dijadikan makanan si
Pipit.
Ada kalanya juga kami
membawa jaring dengan tangkai panjang jika hendak berburu tonggeret. Serangga
berbunyi melengking ini berwarna hijau cerah dan sangat indah. Sayangnya ia
sangat sulit ditangkap sehingga acapkali kami pulang dengan tangan hampa. Si hijau indah inilah yang acap disebut-sebut pada musim layang-layang.
Jika anak-anak sudah berdatangan ke lapang atau tegalan sambil menenteng
layang-layang dan mendapati kincir bambu yang dipasang pada tiang
tinggi tidak mau berputar karena angin enggan berhembus, mereka ramai-ramai
menyanyikan bait permintaan kepada tonggeret. Begini bunyinya, “Tonggeret tonggeret, pang mukakeun lawang
angin…”[2]
Entah orang bodoh mana yang menciptakan lagu itu karena menurutku sulit dipercaya kalau tonggeret bisa mengendalikan angin.
Namun sore itu
sasaran buruan kami adalah jangkrik. Beberapa pekan belakangan teman-temanku di
sekolah dilanda demam. Kalau ada demam yang membuat kami bergairah,
tak lain adalah demam jangkrik. Mahluk kecil berderik ini menjadi pusat perhatian di saat istirahat. Beberapa anak bahkan membawanya ke dalam
kelas. Keruan saja kegiatan belajar terusik karena
sebentar-sebentar diselingi bunyi derik. Yang membuat mata kami berbinar-binar
seperti kucing di pinggir kolam ikan adalah ketika salah seorang anak
memperlihatkan seekor jangkrik kalung yang sayap dan tubuhnya berwarna coklat
kehitaman. Seakan memang dilahirkan untuk jadi jagoan, jangkrik jenis ini tiap
kali diadu selalu menang. Siapa tak ingin punya peliharaan seperti itu? Sebab
itulah kali ini kami membulatkan tekad untuk pantang pulang sebelum mendapatkan
jangkrik kalung setidaknya seorang satu.
Medan perburuan kami
kali ini adalah sawah tegalan bekas panen yang dibiarkan kering menunggu musim
tanam berikut. Di lahan demikian biasanya beraneka macam gulma tumbuh subur,
menjadi surga bagi bangsa serangga untuk beranak-pinak. Di sini pula
para jangkrik membangun rumah dalam tanah. Lubang-lubang itulah yang kami amati
satu per satu. Gepeng, Maman dan aku menyebar di sudut yang berbeda. Kantung
plastik berisi air sudah pula kami siapkan. Jika menemukan lubang yang kami
curigai sebagai tempat bersemayam jangkrik, air kami guyurkan ke dalamnya. Si
penguasa lubang tidak serta-merta merayap keluar dan menyerahkan diri seperti
harapan kami. Lebih sering yang keluar adalah serangga lain yang tidak
dikehendaki. Demikianlah rupanya aturan alam
seringkali berjalan: apa yang engkau inginkan
tak kunjung ketemu, apa yang engkau temui
tidak kauinginkan. Atau sekalinya si jangkrik keluar ia melakukannya dengan
loncatan tinggi dan secepat kilat menghilang di antara rimbunnya gulma.
Kalau air tak sanggup
memaksa mereka keluar dari istana bawah tanah, kami melancarkan jurus serangan
lanjutan: menginjak-injak tanah di sekitar lubang dengan keras. Mungkin dalam
pandangan masyarakat jangkrik di tegalan itu, kami adalah buta[3]
yang menggedor rumah penduduk agar mereka berhamburan keluar untuk dimangsa. Dalam urusan dengan kaum jangkrik, kami memang tak
kenal belas.
Engkau bisa menyebut kami dirasuki hasrat menaklukkan
makhluk yang lebih lemah, kami menyebutnya upaya untuk mengajak mereka
bersenang-senang. Boleh jadi ketika berburu jangkrik seperti inilah seseorang
di suatu tempat di suatu waktu menciptakan lagu ini, “Kalau kau senang hati injak bumi… Bleg! Bleg!”[4]
Sebentar-sebentar
suara hentakan kaki terdengar dan kami biasanya menoleh ke arah sumber suara
sambil bertanya, “Dapat?” yang lebih sering dijawab dengan gelengan kepala disertai raut penasaran.
Rupanya sore itu
akulah yang pertama beruntung. Beberapa detik setelah aku memenuhi lubang
kelima dengan air hingga meluap, seekor jangkrik merayap ke permukaan. Daya
tahan makhluk mungil ini takluk pada guyuran air setengah kantung plastik. Ia
menekuk sepasang kaki belakangnya mengambil ancang-ancang—gerakan klasik yang
mudah dibaca lawan. Sebelum ia sempat meloncat tangan raksasaku dengan sigap
menangkapnya. Aku berteriak kegirangan, kemudian memasukkan jangkrik malang itu
ke dalam botol plastik berlubang-lubang. Kumasukkan pula beberapa helai rumput untuk
membuatnya nyaman.
Mendengar teriakanku,
Gepeng dan Maman menghampiri. Mereka mengamati isi botolku, tapi demi melihat
mahluk tangkapanku bersayap warna pucat, Gepeng mencibir.
“Ah, bukan kalung,”
ujarnya.
Kemudian mereka
kembali ke wilayah buru masing-masing. Jangkrik gopur memang lebih mudah didapat
dan bukan merupakan bintang seperti halnya si coklat tua yang jarang dan sulit
ditangkap.
Sekonyong-konyong
inderaku menangkap sesuatu yang tidak biasa. Sangat tidak biasa. Bumi yang
kupijak bergetar membuatku oleng. Getaran yang merambat dari permukaan tanah
terlalu nyata untuk sebuah lompatan kaki. Aku merasa seperti berdiri di atas
gong raksasa dan seseorang memukul gong itu dengan palu karet. Kerasnya getaran
di permukaan seakan hendak memantul-mantulkan tubuhku. Mustahil kedua temanku
itu bisa menghentak bumi sedemikian keras. Seketika aku menoleh kepada Gepeng.
Pada saat yang sama ia pun memandangku dengan mulut terbuka dan mata membulat.
Kami menoleh pada Maman. Teman kami yang masih dalam keadaan jongkok ini pun
memandang kami bergantian dengan muka pucat. Paras ketakutan terpancar jelas
dari wajahnya. Dengan tatapan tak percaya ia seakan bertanya, “Kamu rasakan
jugakah getaran itu?”
Getaran di tanah
semakin menjadi; kami berlari saling mendekat dalam kebingungan. Masing-masing
berharap yang lain bisa menjelaskan apa yang menyebabkan guncangan itu. Namun
setiap kata yang terucap hanya menambah kepanikan. Ketika berhasil mengumpulkan
kesadaran dan memahami apa yang tengah terjadi, serentak kami berlari sambil
berteriak:
“Liniiii[5]…!”
Detik-detik berikutnya adalah momen yang tersimpan
di ingatanku dalam gerak lambat. Seraya masih
menggenggam botol plastik kami berlari lintang pukang melewati pematang. Tidak
peduli kaki kami merusak semaian padi yang baru tumbuh,
juga sayuran dan bunga-bunga di kebun. Yang ada di pikiran kami hanyalah
berlari. Secepat mungkin! Aku
sempat menyaksikan permukaan air sawah beriak-riak
cepat, di kejauhan pohon-pohon kelapa berayun rendah, dan rumpun-rumpun bambu
mengeluarkan bunyi berisik. Kurasakan debaran di dada bertambah kencang ketika
kudengar debum rendah diikuti bunyi-bunyi tak menentu.
Tanpa menghiraukan
rumput kasar dan duri yang menggores kaki dan tangan, kami berlari sekuat tenaga. Begitu sampai di jalan batu kami berpisah menuju rumah
masing-masing tanpa sempat mengucapkan apa pun. Aku berbelok menuju jalan
setapak yang dipagari beluntas di sisi kiri dan
rumpun bambu di kanan. Di ujung pagar beluntas itu ada cukang, jembatan kecil dari bambu. Di seberang cukang itulah terletak rumahku, tidak jauh dari tebing yang di
atasnya tumbuh dua pohon duren besar. Yang kucemaskan adalah Umi dan
Fitri. Adikku yang berusia 5 tahun itu pasti panik, karena pada
jam-jam seperti itu biasanya Abah tidak berada di rumah.
Begitu melewati pagar
beluntas dan rumpun bambu, kakiku terhenti mendadak. Pandanganku nanar
menyaksikan pemandangan yang terhampar di depanku. Sungai
kecil yang tiap hari kulintasi itu sudah tak ada. Kedua
dindingnya telah roboh memenuhi dasar mirip lubang besar dan panjang yang baru
saja digali. Aku berdiri tepat di bibirnya. Warna
dinding yang biasanya hijau dipenuhi rumput, lumut dan suplir liar telah
berganti menjadi merah tanah dengan satu dua batu bersembulan di sana sini. Cukang bambu itu tak lagi berada di
tempatnya. Kulihat ke bawah. Hanya salah satu ujungnya yang tampak, selebihnya
telah terkubur.
Aku mengangkat muka
untuk melihat rumahku. Rumah panggung berpenopang enam buah balok batu dengan
dinding seluruhnya terbuat dari anyaman bambu
yang dilabur kapur putih dan hanya menyisakan bagian jendela. Atapnya genting
tipis yang banyak ditumbuhi lumut. Dilihat dari kejauhan, warna putih kapur itu sangat
menonjol karena lingkungan sekitarnya hanyalah warna
hijau. Di kiri kanan rumah terdapat dua bidang kecil kebun yang ditanami Umi
dan Abah dengan singkong dan berbagai jenis sayuran keperluan sehari-hari.
Bagian belakang dibatasi oleh tebing yang juga dipenuhi warna
hijau rerumputan. Rumah terdekat dari sana adalah milik tetangga kami Pak
Dadun. Letaknya hanya dipisahkan oleh sebuah petak kebun dan sebuah kolam ikan.
Tapi ketika aku
melihat ke sana, pemandangan yang sudah begitu akrab tertanam di benakku itu
tidak kutemukan. Yang kulihat adalah gundukan tanah merah semacam bukit kecil.
Dua pohon duren besar telah melintang di atas gundukan itu. Bekas
atap rumah hanya tampak sedikit, itupun bentuknya sudah tak beraturan. Untuk beberapa saat
aku berdiri mematung. Degup di dada yang belum mereda lantaran
berlari dengan kecepatan tinggi, kini terasa lebih kencang lagi. Darahku
seakan tersedot habis, otot dan persendian tubuhku mendadak lemas. Tak terasa genggamanku melemah dan botol plastik di tanganku terlepas,
berguling di tanah merah.
Dengan
tenaga yang tersisa aku menuruni sungai yang kini sudah lebih landai dan tak tampak berair. Kakiku terasa amat
berat karena setiap kali melangkah tenggelam ke dalam tanah setinggi lutut,
meninggalkan lubang dalam.
Sandal jepitku tertinggal entah di sebelah mana. Susah payah aku mencapai
tempat berdirinya rumahku.
Aku
memanggil-manggil Umi dan Fitri sekeras mungkin. Di mana ibu dan adikku; apa
yang terjadi dengan mereka? Aku melempar pandangan ke arah rumah Pak Dadun,
berharap mereka berada di sana. Tapi tak tampak sesiapa pun di sana. Galau
pikiranku. Aku yakin mereka berhasil
menyelamatkan diri. Abah tadi pulang lebih awal dan membawa mereka ke tempat
aman. Tidak mungkin Abah membiarkan mereka berdua tak berdaya.
Tapi
di mana mereka sekarang?
Kutatap
gundukan tanah di tempat yang semula adalah rumah kami itu. Tidak mungkin Umi
dan Fitri berada di bawah sana. Waktu aku meninggalkan rumah tadi Umi sedang
membersihkan ikan mujair di pancuran bambu yang menyatu dengan dapur, Fitri
menemaninya sambil mempermainkan buah harendong.
Kembali
aku memanggil-manggil mereka.
Bagaimana
kalau mereka berdua memang masih berada di dalam rumah? Pikiran itu membuat aku
limbung. Aku mendekati gundukan tanah dan berharap mendengar suara. Tidak tahu
apa yang harus dilakukan, tanganku mulai mengais tanah sambil tak henti
memanggil Umi dan Fitri. Semakin mengais, semakin aku mendapatkan kembali
kekuatanku. Gerakan tanganku semakin cepat, suaraku semakin keras. Aku mendapat
keyakinan bahwa tidak berapa lama lagi akan menemukan Fitri dengan pakaian
warna kuning kesayangannya. Rambut tebalnya yang lurus dan hitam agak kotor
terkena tanah, tapi wajahnya
yang lonjong tetap tersenyum
lucu memperlihatkan gigi depannya yang ompong satu. Ketika ia menangis karena
matanya terkena butiran tanah, kutiup kedua matanya dengan lembut. Kubersihkan
kotoran di wajah dan rambutnya, dan kuhibur ia dengan permainan yang menjadi
kesukaannya: duduk di kedua kakiku, kemudian kuangkat naik-turun sambil
bernyanyi.
Ucang-ucang anggé
Mulung muncang saparanggé
Digogog ku anjing gedé
Anjing gedé nu mang lebé
Ketika
aku sampai pada kata “cungungung” kuangkat kakiku setinggi-tingginya sampai
Fitri tergelak kegirangan, suara tawanya panjang menggemaskan. Kedua matanya
tinggal segaris. Tanpa bosan ia meminta permainan itu diulang. Aku pun tak kenal lelah. Merasa mendengar
suara Fitri yang berteriak gembira di ujung kakiku, aku tak bisa mengendalikan
tanganku dan terus menggali.
∞∞
[1] Sebutan untuk ustadz
[2] Tonggeret tonggeret tolong
bukakan gerbang angin. Nyanyian anak-anak untuk “memanggil angin”
[3] Raksasa
[4] Adaptasi dari lagu anak-anak asing, “If you’re happy and you know it stomp your feet!”
[5] Gempa
[6] Lagu ini biasa dinyanyikan untuk mengiringi anak kecil yang duduk
di atas punggung kaki dan dinaik-turunkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar